Kamis, 16 Oktober 2014

PSIKOLOGI ABNORMAL



PENGERTIAN DAN PERSPEKTIF HISTORIS TENTANG PERILAKU ABNORMAL

A.        Pengertian Psikologi Abnormal.
Psikolgi abnormal adalah suatu cabang dari psikologi yang mempelajari tentang prilaku yang abnormal (abnormal behavior)perilaku yang tidak biasa, emosi dan pikiran, yang mungkin atau mungkin tidak dipahami sebagai precipitating gangguan mental.khususnya yang berkaitan dengan patologis yang disebut juga sebagai gangguan prilaku (behavior disorder).
Abnormal itu sendiri berarti prilaku yang menyimpang dari normal. Dimana standar prilaku normal itu sendiri bervariyasi, misalnya perbedaan kultur atau budaya, di indonesia meludahi orang lain berarti berprilaku tidak sopan, namun di belahan dunia lain meludahi orang yang baru datang berarti menyambutnya dan sebagainya. Namun dari pengertian tersebut, prilaku yang abnormal tidak serta merta dianggap patologis.
Menurut Szasz, prilaku seseorang dianggap patologis apabila pola prilaku yang telah dipelajarinya secara minimal sekalipun tidak mampu memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakatnya(socially maladjusted).
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep gangguan jiwa itu meliputi adanya gejala klinis yang bermakna berupa sindrom perilaku atau sindrom psikologik, gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), dan menimbulkan disabilitas (disability; misalnya tidak bisa makan sendiri, tidak bisa mandi sendiri).
Perilaku abnormal adalah suatu penyimpangan (deviasi). Seseorang dikatakan mengalami penyimpangan kalau ia berperilaku berbeda dari reratanya. Hal ini didasarkan pada perhitungan statistik, yang mendasarkan gejala-gejala kejiwaan maupun ukuran perilaku pada nilai rerata. Orang yang di bawah ukuran rerata kecerdasan, tergolong menyimpang dari rerata, demikian pula nilai di atas rerata juga tergolong menyimpang dari rerata.
Penyimpangan juga dapat dilihat dari fungsi optimal. Orang yang tidak berfungsi optimal juga mengalami gangguan dalam kondisi tertentu. Definisi abnormal dapat dilihat dari perilaku sebagai akibat dari gangguan yang sifatnya biologis (fisik), psikologis dan sosial.

Kriteria Perilaku Abnormal secara sederhana dapat dikategorisasikan sebagai berikut
a.      Segi Biologis. Tingkat abnormal dari unsur biokimia dalam sistem saraf. Gejala fisik, terlihat dari tidur, nafsu makan dan tingkat energi. Adanya gangguan dalam struktur dan fungsi dari bagian-bagian dalam otak.
b.      Segi Psikologis. Pengalaman persepsi dan penginderaan (sensori) yang luar biasa. Fungsi kognitif yang mundur atau aneh. Status emosi terganggu. Distress personal: perilaku menyimpang.
c.       Segi sosial. Bertentangan dengan norma-norma sosial. Berbahaya bagi orang lain.
Perilaku abnormal dapat dilakukan dengan pendekatan tiga perspektif
                a.         Frekuensi statistik.
Perilaku abnormal ditinjau dari perspektif frekuensi statistik, apakah perilaku yang dilakukan jarang ada di populasi umum.
                b.         Norma sosial.
Tinjauan dari perspektif kedua adalah norma sosial, perilakunya benar-benar menyimpang dari penerimaan standar sosial, nilai-nilai yang berlaku, dan norma-norma pada umumnya. Norma dari waktu ke waktu terbentuk secara mapan, dan secara bertahap mengalami perubahan. Apakah seseorang mengalami penyimpangan berdasarkan norma-norma masyarakat, bila dievaluasi berdasarkan persepktif ini? Mungkin lebih mudah mengevaluasinya, saat ia berjalan bertelanjang atau tidak menunjukkan diri dalam waktu satu minggu?
                 c.         Penyimpangan perilaku.
Perspektif ketiga memandang perilaku abnormal, bila hal tersebut bertentangan dengan fungsi hidup kemampuan individu dalam masyarakat. Apakah seseorang dapat berfungsi, sebagaimana seharusnya dalam kehidupan sehari-hari? Hal ini mencakup kemampuan bekerja sama, merawat diri sendiri, dan memiliki interaksi sosial yang normal.
Ada gejala-gejala yang menandai perilaku terganggu atau gangguan psikis, antara lain adalah:
a.       Berkeringat terus menerus apabila berbicara dengan orang asing atau orang yang belum dikenal.
b.      Menolak makan karena merasa terlalu gemuk dan ingin menjadi kurus.
c.       Merasakan orang lain di sekitarnya selalu mengikuti dirinya dan menyadap pembicarannya.
d.      Melakukan cuci tangan setiap kali dan berkali-kali.
e.       Berpikir terus menerus tentang ayahnya, sehingga menganggu pekerjaannya.
f.       Merasa harus melakukan suatu perilaku berulang-ulang, tanpa dapat ditolak.
g.      Merasa cemas tanpa alasan.
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu perilaku abnormal, antara lain:
                          1.         Statistical infrequency.
Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva.  Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dan sebagainya
Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius.
Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.
                          2.         Unexpectedness.
Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
                          3.         Violation of norms.
Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi. Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal.
Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi abnormal.
                          4.         Personal distress.
Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu. Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecemasan. Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik. Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
                          5.         Disability.
Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability dalam masalah seksual.
Mitos dan fakta tentang perilaku abnormal
MITOS
FAKTA
Perilaku abnormal sangat aneh dan sangat berbeda dengan orang normal
Gangguan mental akibat adanya kekurangan dalam diri yang tidak teratasi
Gangguan mental dipengaruhi sihir atau magic
Penderita gangguan sukar dibedakan dengan orang normal

Setiap orang punya potensi dan kesempatan sama untuk terganggu dan bertingkah laku abnormal
Banyak orang-orang yang percaya Tuhan terkena gangguan mental dan masyarakat kurang mengetahui pengetahuan ilmiah.



Contoh Perilaku Abnormal :
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal perilaku aneh yang berbeda dari orang-orang umumnya. Misalnya ada orang yang marah-marah tanpa sebab, orang yang hidupnya suka menyendiri, atau ada orang yang murung berkepanjangan, sehingga tidak mampu mengerjakan tugasnya sehari-hari. Seseorang dapat saja mengalami rasa tertekan (distress) sehingga cemas dan ketakutan, sehingga menganggu ketenangan orang lain. Orang ini kemana-mana tidak berani sendirian, ia mengira-ira berbagai masalah dan kesulitan akan menimpa dirinya, dan banyak masalah yang akan timbul dalam perjalanannya.Sampai suatu saat, seseorang mengalami gangguan psikis (stres, cemas, depresi,halusinasi, kehilangan kesadaran rasa bersalah dan sebagainya).

B.        Perspektif Historis Tentang perilaku Abnormal.
Sepanjang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia waktu itu. Contohnya, masyarakat purba menghubungkan perilaku abnormal dengan kekuatan supranatural atau yang bersifat ketuhanan. Para arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya. Satu interpretasi yang muncul adalah bahwa nenek moyang kita percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination--menciptakan sebuah jalur bagi jalan keluarnya roh tertentu.
Pada abad pertengahan kepercayaan tersebut makin meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Rupanya, hal seperti ini masih dapat dijumpai di negara kita, khususnya di daerah pedalaman. Pernah saya melihat di tayangan televisi yang mengisahkan tentang seorang ibu dirantai kakinya karena dianggap gila. Oleh karena keluarga meyakini bahwa sang ibu didiami oleh roh jahat, maka mereka membawa ibu ini pada seorang tokoh agama di desanya. Dia diberi minum air putih yang sudah didoakan. Mungkin inilah gambaran situasi pada abad pertengahan berkaitan dengan penyebab perilaku abnormal.
Lalu apa yang dilakukan waktu itu? Pada abad pertengahan, para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Mereka melakukan pengusiran roh jahat (exorcism) dengan cara, misalnya: berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib, memukul, mencambuk, dan bahkan membuat korban menjadi kelaparan. Apabila korban masih menunjukkan perilaku abnormal, maka ada pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan peralatan tertentu.
Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat tetap bertahan hingga bangkitnya ilmu pengetahuan alam pada akhir abad ke 17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku manusia. Akhirnya, model-model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya.
a.      Perspektif biologis.
Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.
b.      Perspektif psikologis.
Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.
c.       Perspektif sosiokultural.
Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dan sebagainya.
d.      Perspektif biopsikososial.
Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.
PERPEKTIF HISTORIS TENTANG GANGGUAN ABNORMAL
1.      Model Demonologi.
Arkeolog menemukan lubang sebesar telor pada tengkorang manusia.
Perilaku abnormal merefleksikan serbuan/ invasi dari roh-roh jahat.
Lubang di atas ditujukan untuk jalan agar roh-roh yang marah dapat keluar.
Threpination untuk membatasi agar masyarakat berperilaku baik.
Model ini mengaitkan perilaku abnormal dengan supranatural atau hal-hal gaib.
Babylonia : perjalanan bintang dan planet ditentukan oleh perjalanan dan konflik dari para dewa.
Yunani Kuno : dewa-dewa memperlakukan mereka seperti mainan, jika dewa marah maka terciptalan bencana alam bahkan ketidakwarasan.
Orang yang berperilaku abnormal dimasukkan ke dalam kuil untuk dipersembahkan kepada dewa Aesculapius (penyembuh).

2.      Asal Mula Model Medis: dalam “Cairan Tubuh Manusia Memicu Penyakit”.
Hipocrates (460 SM) bapak ilmu kedokteran, meyakini bahwa perilaku abnormal terjadi karena ketidakseimbangan cairan dalam tubuh.
Orang yang tidak bertenaga atau lambat diyakini memiliki kelebihan lendir (plegm)
Kelebihan cairan empedu hitam diyakini menyebabkan depresi atau melankolia.Terlalu banyak cairan darah menimbulkan disposisi sanguinis: ceria, percara diri, optimis.
Kelebihan cairan empedu kuning membuat orang-orang menjadi muram dan koleris (cepat marah).

Meskipun teorinya sudah tidak lagi dianut, Hipocrates berhasil menyangkal pendekatan demonologis dan menggolongkan perilaku abnormal ke dalam tiga bagian, yakni:
a)      Melankolia untuk menandai depresi yang berlebihan.
b)      Maniak untuk mengacu pada kegembiraan yang berlebihan.
c)      Frenitis (peradangan otak) untuk menandai bentuk perilaku yang aneh, yang mungkin saat ini disebut schizofrenia.


3.      Zaman Pertengahan (475-1450M).
Setelah kepergian Galen, doktrin akan kekuatan supranatural sebagai penyebab perilaku abnormal dikuatkan kembali oleh Gereja Katolik Roma.
Upaya penanganan dengan Upacara Pengusiran Roh Jahat.
Metodenya: berdo’a, mengayun-ayunkan tanda salib, memukul dan mencambuk.
Jika tak kunjung sembuh, disiksa dengan alat yang sangat menyakitkan, dengan harapan si penderita dapat termotivasi untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan masyarakat.

4.      Ilmu Sihir (akhir abad 15 - akhir abad 17).
Perempuan-perempuan yang dituduh sebagai penyihir disiksa dan dibunuh, karena dianggap meracuni hasil panen atau memakan bayi-bayi mereka.
Ada panduan untuk menyelidiki orang-orang yang dicurigai sebagai penyihir. Lebih dari 100.000 penyihir dibunuh pada 2 abad berikutnya.
Tes “diagnostik” dengan menenggelamkan orang yang dicurigai (logam murni).
Akademisi modern meyakini bahwa “penyihir” yang meyakini diri mereka dapat terbang, atau berhubungan dengan iblis, benar adanya dan ini merupakan fenomena psikologis yang dikenal sebagai halusinasi pada gangguan schizofrenia.

5.      Rumah Sakit Jiwa (akhir abad 15 - awal abad 16).
RSJ atau penampungan orang gila menjamur di Eropa, juga bekas Leprosarium.RSJ sebagai perlindungan bagi orang gila dan pengemis.
Tempat yang sangat mengerikan, sebab sebagian dari mereka dirantai di tempat tidur dan dibiarkan berbaring di tengah kotoran mereka, atau berkeliaran tanpa ada yang membantu.

6.      Gerakan Reformasi dan Terapi Moral (akhir 18 – awal 19).
Pussin meyakini bahwa apabila mereka dirawat dengan kebaikan hati, maka mereka tidak perlu lagi untuk dirantai.Kebanyakan dari mereka yang lebih mudah ditangani dan tenang ketika rantai mereka dilepaskan.Melarang staf-stafnya berlaku kasar, memindahkan pasien dari ruang gelap bawah tanah ke ruangan yg berfentilasi dan cukup cahaya matahari.
Pinel juga meluangkan waktu berjam-jam untuk berbicara dengan mereka.
Terapi Moral, yakni memberikan penanganan yang manusiawi dalam lingkungan yang santai dan layak dapat mengembalikan fungsi yang normal.
Benjamin Rush, bapak psikiater Amerika. Rumah sakitnya menjadi yang pertama di AS yang menerima pasien dengan ganggua psikologis. Ia juga menyukai manfaat terapi okupasional, musik dan perjalanan.

7.      Pertengahan abad 19.
Keyakinan bahwa perilaku abnormal dapat disembuhkan kurang disukai, dan menganggap perilaku ini tidak dapat disembuhkan.RS mental menjadi tempat yang sangat menakutkan. Jaket pengikat, borgol, tali, tempat kurungan, digunakan untuk menangani pasien yang terlalu gembira dan membahayakan.Pasien dibiarkan dalam bangsal yang minim sanitasi dan perawatan.Pertengahan abad-20 banyak seruan untuk mereformasi sistem kesehatan mental.

8.      Gerakan Mental Higine.
Sistem pusat kesehatan mental yang berskala nasional (comuniti mental health center /CMHCs) menawarkan alternatif perawatan jangka panjang di institusi yang sangat menyedihkan.
Muncul sekelompok obat anti-psikotik yang dapat menekan simtom skhizofrenia, mengurangi kebutuhan rawat inap di RS, dan dapat hidup bebas di masyarakat.Populasi menurus, RS mental ditutup, banyak pramuwisma yang terlantar, tidur di terminal dan stasiun, yang kebanyakan diantara mereka merupakan pasien mental yang dilepaskan.

9.      The National Comite of Mental Hygine (1909), di AS bertujuan untuk:
Mengubah kepercayaan masyarakat yang menyatakan bahwa penyakit mental tidak bisa disembuhkan, membawa cacat dan kutukan.
Mendorong pengenalan diri dan prevensi penyakit mental (prevensi primer).Prevensi sekunder : menemukan secara dini gejala penyakit.
Prevensi tersier: upaya penyembuhan Menaikkan kondisi RS mental
·         Perbaikan teknik penyembuhan.
·         Pemberian pekerjaan yang menarik.
·         Perbaikan perlakuan perawat.
·         Perubahan sikap dokter.

10.  Penyakit mental dianggap sebagai penyakit otak.
Pertengahan abad-19, Hipocrates menganggap penyakit mental adalah penyakit otak, sehingga faktor yang mendasarinya dilihat dari sistem sarafnya. Hipotesis Somatogenik : mencari penyebab gangguan pada badan.
Kraeplin, konsepnya mengenai aspek fisik penyebab penyakin mental lebih luas dari orang-orang sebelumnya. Menurutnya, selain kerusakan otak ada hal lain yang berpengaruh yakni gangguan metabolisme dan penyakit glandula endokrin. Menurut kraeplin ada dua gangguan mental, yakni: Psikosis Manic Depresif dan Dimensia Praecox (skizofrenia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar