IBADAH DAN DO’A
A.
Pengertian
Ibadah.
Ahli bahasa mengartikan
ibadah dengan (wahhaddahu wa khaddamahu wa khadda’a wa dalla wa tha’a lahu)
(Ma’luf, 1986:483) yang memiliki arti mengesakan alloh, patuh kepadanya, tunduk
kepadanya, merasa hina dihadapannya dan menaati perintah-perintahnya. Bahkan
ahli bahasa indonesia pun turut serta mendefinisikan ibadah sebagai perbuatan
yang dilakukan berdasarkan rasa bakti dan taat kepada Alloh, untuk menjalankan
perintahnya, serta menjauhi larangannya (Salim,1991:545). Jadi, dalam ibadah
tidak terlepas adanya kepatuhan (corformity).
Menurut Syaltut
(1989:64), salah seorang imam muslim dan musafir terkenal, menulis dalam
tafsirnya bahwa ibadah berarti tunduk tidak terhingga kepada kebenaran yang
tidak terbatas. Hal ini termanifestasikan dalam perasaan hina dan cinta serta
kefanaan diri menghadapi keindahan dan kemegahan Dzat yang dibadahi. Kefanaan
diri ini tidak tertandingi oleh segala macam dan bentuk kefanaan lain. Dalam
konsep spritual psikologi islam patut menghadirkan pengertian yang
mengintisarikan bahwa nilai spritual itu terletak pada kualitas konformiti seseorang terhadap Yang Maha
Agung. Dengan kata lain, manusia dapat dikatakan utuh jika ia telah sanggup
meleburkan dalam tata ruang ibadah.
Dalam ilmupengetahuan,
khususnya para ilmuan di bidang science
mendefinisikan ibadah sebagai tata nilai tertinggi dalam ruang motivasi
(Sukanto, 1985:32). Sebagian mereka juga ada yang mendefinisikan ibadah sebagai
kewajiban kontemplasi mengenai keesaan Tuhan sehingga menimbulkan kesadaran
mengenai tauhid dan Khalifah. Ibadah akan mengintegrasikan kegiatan ilmiah
dengan sistem nilai Islam karena ibadah mempunyai manifestasi, diantranya
adalah pencarian ilmu pengetahuan (Sardar, 1998:127). Dari banyak pengertian
dan arti bahasa setidaknya dapat ditarik benang merah mengenai ibadah, yaitu
penghambaan diri (abdun)kepada Alloh
SWT.. sebagai Ma’bud.Perlu untuk
ditindaklanjuti dan dikaji secara empiris bahwa kegiatan ibadah dapat menopang
keintelektualan manusia untuk lebih tipis lagi menyatu dengan kebenaran.
Sungguh ruang ibadah itu mutlak untuk dijadikan tempat mengakses substansi dan
setiap penciptaan terutama manusia.
Interaksi yang
disebabkan oleh ibadah menyebabkan adanya timbal balik yang amat erat antara abdun dan Ma’bud. Faridi (1986:114-115), salah seorang cendikiawan Muslim
yang intens mengamati perkembangan ilmu tentang kejiwaan dan banyak mengkritik
serta membuat kisi-kisi baru dalam ilmu jiwa, berpendapat sebagai berikut : “The worshipper’s and the worshipped are two
aspectsof the same truth, the worshipper’s earning of good and evil and
worshipped’s answering grace and wrath are two biews of the same picture”
(para pemuja yang dipuja adalah dua aspek dengan kebenaran yang sama. Para
pemuja mendapatkan kebaikan dan keburukan yang dipuja menjawab dengan rahmat
dan azab adalah dua pandangan dalam satu gambar). Jadi, dalam ibadah ada timbal
balik. Dalam bahasa mazhab kaum behaviour disebut stimulus respon (S.R). apapun
yang dipikirkan manusia terhadap tuhannya adalah gambaran tuhan kepadanya.
Jadi, baik buruk penilaian Tuhan pada manusia tergantung dari persepsi manusia
itu sendiri. Dengan beribadah manusia kelak akan mendapatkan bayangan dirinya (self image).
Tingkatan kepatuhan
dalam menjalankan ibadah merupakan gambaran (deskripsi)
halus tidaknya perasaan seseorang. Semakin tinggi tingkat kepatuhan dalam
beribadah akan semakin sensitif perasaan seseorang dalam berinteraksi, sehingga
mudah terkontaminasi pihak luar (lingkungan). dengan demikian, tingkat kepekaan
untuk mengubah ketidakbenaran akan tinggi. Jika sensitivitasnya berhasil meraih
citra tuhannya, ia akan merasakan nikmatnya hidupdalam lingkaran (cordon) ibadah. Citra tuhan hanya dapat
dipahami jika hati manusia sudah terbatas dari keluhan dan persepsi buruk pada
Tuhan.[1]
Pengertian Do’a
Do’a walaupun secara kasat mata susah untuk dipercaya,
namun hati nurani manusia tentu sudahbanyak yang mengalami secara pribadi.
Bahwa, telahmengubah hidupnyamenjadi lebih optimis dalam menjalani rintangan
dan cobaan hidup. Sementara itu, doa tentunya akan lebih mampu membantu
seseorang untuk mencapai tujuan. Akan berbeda orang yang berdoa dengan tekun
dengan yang sebaliknya. Tentang doa juga merupakan sebagai sebuah usaha untuk
mencapai sesuatu.
Doa sangat penting bagi perkembangan psikologis
seseorang. Mazhahiri (2002:119) menjelaskan, bahwa doa adalah kenikmatan yang
paling nikmat. Sehingga dengan manusia akan pandai bersyukur. Doa menjadikan
manusia memutus keterikatan dan ketergantungan kepada selain Allah. Sehingga,
pengharapan manusia semata-mata hanya kepada Allah. Doa meniupkan ketenangan
dan ketentraman jiwa, juga membuat hari-harinya diliputi oleh kebahagiaan dan
ketenangan. Doa mampu melampangkan dada, sehingga mudah menerima segala
informasi dari luar dirinya tanpa penghalang. Doa mampu menutupi erbagai
kekurangan dari diri manusia, shingga akan terangkat martabatnya. Doa mampu
membantu dan mengarahkan manusia dalam menemukan sesuatu yang hilang dalam
dirinya.
Doa adalah Ibadah. Ibadah akan membawa seseorang kuat,
baik secara fisik maupun mental. Dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Luhai’ah, Nabi Saw. Bersabda:
“Doa adalah otaknya ibadah” (HR al-Tirmidzi)
Orang berdoa berarti telahberusaha menghadapkan segala
urusan kepada Allah SWT. Doa merupakan pernyataan tentang kelemahan manusia
dihadapan kekuasaan Allah SWT, serta merupakan cara untuk mengingatnya. Doa
menghapus perasaan mampu pada diri dan perasaan bangga dengan jiwa. Ketika
terlepas dari perasaan angkuh, sombong dan bangga dengan dirinya sendiri, maka
disitulah letak agungnya ketaatan. Sehingga, manusia merasakan bahwa dirinya
bukan apa-apa, membutuhkan ada yang menolong, dan menuntun. Setelah berusaha
dengan segala kemampuan yang ada ternyata tetap tidak bisa berbuat sesuatu
lebih banyak dari yang di harapkan. Inilah perasaan, yang sebenarnya diinginkan
oleh Allah terjadi pada hambanya. Perasaan, bahwa tidak ada daya dan upaya
selain kekuatan Allah SWT.
Doa memberikan sumbangan spritual. Kemampuan seorang
siswa dalam melakukan kegiatan tentu didukung oleh rasa percaya diri dan
kestabilan emosi yang ada pada dirinya. Sehingga, semakin konsisten siswa
melakukan doa dengan adab yang benar, akan semakin mendukung kemampuan mereka
dalam melakukan aktivitas positf.[2]
B.
Pembagian
Ibadah.
Ibadah terbagi dua, yaitu ibadah ritual
dan ibadah multi dimensi.
a.
Ibadah
Ritual.
Ibadah Ritual di ikat
oleh hukum-hukum baku tertentu dan dengan demikian membentuk disiplin normatif
(Sukanto, 1985:105). Seperti rukun islam , rukun perkawinan, hukum warisan, dan
sebagainya. Dalam Shalat misalnya, seseorang akan mendapatkan pengalaman
spritual tersendiri dengan orang lain. Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1983:78) mengatakan bahwa shalat itu terdiri dari
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Rizvi (1985:40) mengatakan, Prayer is a
power wich brings about new orientation of energy and minimizes the process of
disease till the man is cured, (orang yang berdoa adalahsebuah kekuatan
yang menghasilkan kekuatan orientasi baru dan mengurangi proses sakit sampai
seseorang menjadi sembuh). Nabi Muhammad dalam hadis-hadisnya bersabda: “Dijadikanlah kegembiraan hatiku itu di
waktu shalat” (HR an-Nasa’i) dan Nabi jga bersabda: “ Sembahlah Alloh dengan penuh keridhaan, jika engkau tidak sanggup
maka dalam keadaan kesabaran terhadap apa yang engkau benci itu ada kebaikan
yang banyak.” (HR Tharbani).
Ibadah ritual sifatnya
mengikat, tapi tidak memaksa. Karena dalam agama tidak ada paksaan (koersif), yang ada adalah ikatan yang
timbul dari rasa ikhlas dan ridha antara abdun
dan Ma’bud. Kebebasan manusia
untuk berekspresi adalah harga termahal dari tuhan untuk kepentingan manusia.
Tuhan akan selalu ikut andil dalam segala tindakan manusia. Apalagi pada hasil
segala proses manusia tidak akan mampu melawan kehendaknya betapapun ia dengan
sungguh-sungguh telah berupaya mewujudkan keinginannya. Jadi yang terbaik untuk
manusia adalah memahami kehendak Tuhan sebelum berjalan melalui proses
pencampaian keinginan sendiri.
b.
Ibadah
Multidimensi.
Mengenai ibadah
multidimensi,Rasulullah Saw. Bersabda “Seluruhumatku
masuk surga kecuali yang berpaling. Para sahabat bertanya, ‘siapakah yang
berpaling itu wahai Rasulullah?’ ‘beliaw menjawab, ‘Siapa yang taat kepadaku
masuk surga dan barang siapa yang membangkang maka ia akan berpaling’ (HR
Bukhari).” Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. Juga bersabda, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia
telah taat kepada Alloh dan barangsiapa yang membangkangku maka ia juga telah
membangkangkang Alloh,”(HR Bukhari dan Muslim).
Tiap aspek kehidupan
manusia mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang didudukkan
sebagai buruh yang hidup kurang mapan dan menjadi bawahan seorang bos yang kaya
raya. Ada juga yang menjadi bangsawan (Sukanto, 1985:106). Cinta kasih abdun dan Ma’bud adalah dasar masyarakat. Jadi, dalam ibadah harus ada cinta
kasih sebagai salah satu penghubung antara hamba dan Tuhannya ketika melakukan
suatu tingkah laku selama hidupnya. Nasaruddin Umar pernah berkata bahwa
manusia tidak cukup bergaul dengan bersahabat dalam penghuni alam nyata (dunia)
saja, tetapi manusia juga perlu bersahabat dengan mereka yang sudah meninggal
dalam pengertia jasadnya tak bernyawa, sebab bergaul dengan mereka akan jauh
lebih baik untuk peningkatan spritualitas manusia. Manusia yang sudah mampu
merasakan indahnya bergaul dengan roh-roh yang sudah lepas dari jasadnya kerap
kali terh\lihat hidupnya tenang dan damai.
Di dalam dunia ini ada
empat golongan primer, yaitu kebenaran, kegunaan, keindahan, dan keridhaan
Alloh. Manusia yang akan baik dalam hidup selalu memperhitungkan keberadaannya
dan selalu mengkaji diri agar mampu menyatukan keempat golongan primer itu
dalam segala perbuatan sehingga bisa bernilai ibadah. Motivasi ibadah hanyalah
mengutamakan nilai dan norma dari kegunaan dalam semua aspek kehidupan yang
sesuai dengan petunjuk agama samawi. Apa pun di dunia ini akan bernilai ibadah
jika dimotivasi untuk melangkah ke arah nilai-nilai ajaran Tuhan.
Dimensi ibadah
multidimensi selalu mencari kebenaran, keselarasan bentuk dalam koordinasi yang
harmonis antara iman, ilmu, dan amal. Nilai yang timbul dari ibadah adalah
nilai yang membuat Allah ridha karenanya, setidak-tidaknya tidak menjadikan
Alloh murka (Sukanto, 1985:107).[3]
C.
Esensi
Psikologi dalam Ibadah.
Dalam lingkaran nilai-nilai dan konsep-konsep ibadah
dapat menjadikan seseorang bebas mengekspresikan individualitasnya dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya sesuai dengan aoa yang mereka inginkan sejauh daerah
yang sudah diterangkan oleh nilai-nilai dan konsep-konsep abadi itu bisa
dipetakan. Masyarakat Muslim telah memanifistasikan
nilai tersebut melalui berbagai cara sesuai dengan kondisi sejarah dan
lingkungan mereka. Mekanisme seperti ini akan menjadikan peradaban Islam selalu
berubah dan berkembang dengan tetap menyertakan karakteristiknya yang unik dan
abadi (Sardar, 1998:60-61).
Kebahagiaan dalam beribadah adalah pencampaian mutlak
bagi manusia yang tekut dan taat pada penghambaannya kepada Tuhan. Ibadah yang
dilakukan secara terpaksa dan berat hati menandakan belum mencapai kebahagiaan
yang sempurna (al-Ghazali, 1989: 35). Betapapun manusia telah mencapai
kebahagiaan , tak akan pernah lepas tanpa ibadah, sebab ibadah adalah sisi lain
dari nilai kebahagiaan. Bukankah tubuh termasuk darah dan segala fasilitas
lainnya adalah titipan Alloh yang sudah pasti selalu berzikir. Alangkah malunya
jika diri dan kesadaran tidak ikut hanyut dalam zikir kepada Allah. Tubuh ini
akan merasakan ketentraman jika digerakkan oleh kesadaran manusia yang selalu
berdzikir kepada Yang Maha Pencipta.
Ibadah harus dilakukan sepanjang hayat, sebab badan ,
jiwa dan roh akan selaras hanya dengan ibadah untuk membuat akhlak meresap dan
sempurna. Akhlak adalah simbol dari kesempurnaan seseorang hamba dalam
beribadah sehingga mahluk akan dapat Saling memberi penilaian baik buruk ibadah
seseorang dengan melihat keseluruhan budi pekerti atau akhlaknya. Menurut
al-Ghazali (1989: 61), ada beberapa hal yang mencirikan seseorang tekun dalam
beribadah, yaitu memutuskan hubungan dan kaitan dengan segala hal, membersihkan
hati dari segala hal dan menghadapkan diri kepada Allah Swt. Secara total.
Totalitas diri dalam beribadah sebenarnya bukan kewajiban lagi bagi mereka yang
sudah merasakan nikmatnya ibadah, tapi merupakan kebutuhan, sebagai mana jasad
ini butuh akan makanan dan air di setiap harinya.
Ibadah merupakan tugas yang diemban oleh manusia ketika
ia sudah sampai pada masa aql balig (bisa berpikir denga penuh perhitungan).
Ibadah memosisikan diri sebagai hal terpenting dari semua tingkah laku manusia,
bahkan boleh dikatakan apa pun manusia lakukan adalah sia-sia, tak memiliki
nilai dan menghamburkan waktu jika tidak ada dasar ibadah pada dirinya. Kodrat
seluruh ciptaan Alloh adalah untuk beribadah, dalam pengertian mengagungkan
Penciptaannya. Manusia diberi kebebasan dalam dirinya. Namun, perlu digaris
bawahi bahwa kebebasan yang diberikan kepada manusia itu adalah kebebasan unruk
mencari jalan agar sampai pada keridhaannya, bukan kebebasan untuk taat
beribadah atau tidak. Bagi mereka yang tidak taat, pantas jika diancam dengan
hukuman dan siksa diakhirat kelak, bahkan sebagian sudah diperlihatkan ketika
masih hidup di dunia.
Allah adalah pencjpta manusia dan makhluk lainnya.
Manusia dijadikan oleh Allah sebagai Khalifah. Ia diberi tugas untuk
memberdayakan alam semesta beserta isinya sebagai ibadah. Tiga hal dalam
beribadah, iman,amal saleh, dan taqwa.
Iman dan takwa akan langsung menghantarkan manusia ke kampung halamannya yaitu
surga, dan amal saleh perlu adanya
keridhaan Tuhan. Dalam amal saleh itu
ada prestasi, nilai dan derajat sehingga manusia harus berlomba-lomba untuk
mendpatkan yang paling baik, terpilih dan
unggul.
Leonard Bull pernah berkata, bahwa yang paling perlu
supaya orang tetap sehat dan suksesadalah keteguhan rohani (mental stance), pemusatan pemikiran dan kemauan kepada kesehatan
dan sukses. Dalam ibadah diajarkan istilah khusyu’
yang sepadan dengan konsentrasi. Di sini akan sedikit mengendalikan hal-hal
yang negatif ketika ibadah tersebutberlangsung, baik yang ritual atau
multikondisi, sehingga tekanan-ketegangan (stress-strain)
akan mudah dikendalikan.
Ibadahperlu dikenal sejak kecil. Boleh dipakai struktur
kepribadian Freud, aspek badani akan lebih sulit dilatih ketika dewasa, karena
pada masa dewasa(maturity) aspek
penyimpangan (deviation) akan lebih
cepat terakses oleh badan/jasad. Pada akhirnya pendidikan dapat menyentuh
kepribadian seseorang di masa depan. Ibadah adalah memfanakan diri di hadapan
Allah semata. Pasti dia sendirilah yang mempunyai hak mutlak menetapkan
bentuk-bentuk ibadah dan mensyariatkan hukum-hukumnya. Ibadah berkaitan dengan
perubahan jiwa dan tingkah laku, yang gambarannya berbentuk positif disebut akhlak al-karimah dan negatif disebut akhlak as-sai’ah.
Ibadah adalah tugas manusia sebagai hamba dari Tuhan
Semesta
Alam. Dengan beribadah secara rutin sepanjang hayat diharapkan manusia semakin berakhlak al-karimah. Akhlak adalah simbol pencampaian Ridha Ilaihi, sehingga tujuan manusia yaitu kembali ke kampung halaman (surga) dapat tercapai.[4]
Alam. Dengan beribadah secara rutin sepanjang hayat diharapkan manusia semakin berakhlak al-karimah. Akhlak adalah simbol pencampaian Ridha Ilaihi, sehingga tujuan manusia yaitu kembali ke kampung halaman (surga) dapat tercapai.[4]
[1]Rafy sapuri,
M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali
Pers,2009), h.59-61
[2]Rafy sapuri,
M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali
Pers,2009), h.67-71
[3]Rafy sapuri,
M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali
Pers,2009), h.62-64
[4]Rafy sapuri,
M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali
Pers,2009), h.64-67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar