Kamis, 16 Oktober 2014

IBADAH DAN DO'A DALAM PSIKOLOGI ISLAM



IBADAH DAN DO’A

A.        Pengertian Ibadah.

Ahli bahasa mengartikan ibadah dengan  (wahhaddahu wa khaddamahu wa khadda’a wa dalla wa tha’a lahu) (Ma’luf, 1986:483) yang memiliki arti mengesakan alloh, patuh kepadanya, tunduk kepadanya, merasa hina dihadapannya dan menaati perintah-perintahnya. Bahkan ahli bahasa indonesia pun turut serta mendefinisikan ibadah sebagai perbuatan yang dilakukan berdasarkan rasa bakti dan taat kepada Alloh, untuk menjalankan perintahnya, serta menjauhi larangannya (Salim,1991:545). Jadi, dalam ibadah tidak terlepas adanya kepatuhan (corformity).

Menurut Syaltut (1989:64), salah seorang imam muslim dan musafir terkenal, menulis dalam tafsirnya bahwa ibadah berarti tunduk tidak terhingga kepada kebenaran yang tidak terbatas. Hal ini termanifestasikan dalam perasaan hina dan cinta serta kefanaan diri menghadapi keindahan dan kemegahan Dzat yang dibadahi. Kefanaan diri ini tidak tertandingi oleh segala macam dan bentuk kefanaan lain. Dalam konsep spritual psikologi islam patut menghadirkan pengertian yang mengintisarikan bahwa nilai spritual itu terletak pada kualitas konformiti seseorang terhadap Yang Maha Agung. Dengan kata lain, manusia dapat dikatakan utuh jika ia telah sanggup meleburkan dalam tata ruang ibadah.

Dalam ilmupengetahuan, khususnya para ilmuan di bidang science mendefinisikan ibadah sebagai tata nilai tertinggi dalam ruang motivasi (Sukanto, 1985:32). Sebagian mereka juga ada yang mendefinisikan ibadah sebagai kewajiban kontemplasi mengenai keesaan Tuhan sehingga menimbulkan kesadaran mengenai tauhid dan Khalifah. Ibadah akan mengintegrasikan kegiatan ilmiah dengan sistem nilai Islam karena ibadah mempunyai manifestasi, diantranya adalah pencarian ilmu pengetahuan (Sardar, 1998:127). Dari banyak pengertian dan arti bahasa setidaknya dapat ditarik benang merah mengenai ibadah, yaitu penghambaan diri (abdun)kepada Alloh SWT.. sebagai Ma’bud.Perlu untuk ditindaklanjuti dan dikaji secara empiris bahwa kegiatan ibadah dapat menopang keintelektualan manusia untuk lebih tipis lagi menyatu dengan kebenaran. Sungguh ruang ibadah itu mutlak untuk dijadikan tempat mengakses substansi dan setiap penciptaan terutama manusia.
Interaksi yang disebabkan oleh ibadah menyebabkan adanya timbal balik yang amat erat antara abdun dan Ma’bud. Faridi (1986:114-115), salah seorang cendikiawan Muslim yang intens mengamati perkembangan ilmu tentang kejiwaan dan banyak mengkritik serta membuat kisi-kisi baru dalam ilmu jiwa, berpendapat sebagai berikut : “The worshipper’s and the worshipped are two aspectsof the same truth, the worshipper’s earning of good and evil and worshipped’s answering grace and wrath are two biews of the same picture” (para pemuja yang dipuja adalah dua aspek dengan kebenaran yang sama. Para pemuja mendapatkan kebaikan dan keburukan yang dipuja menjawab dengan rahmat dan azab adalah dua pandangan dalam satu gambar). Jadi, dalam ibadah ada timbal balik. Dalam bahasa mazhab kaum behaviour disebut stimulus respon (S.R). apapun yang dipikirkan manusia terhadap tuhannya adalah gambaran tuhan kepadanya. Jadi, baik buruk penilaian Tuhan pada manusia tergantung dari persepsi manusia itu sendiri. Dengan beribadah manusia kelak akan mendapatkan bayangan dirinya (self image).

Tingkatan kepatuhan dalam menjalankan ibadah merupakan gambaran (deskripsi) halus tidaknya perasaan seseorang. Semakin tinggi tingkat kepatuhan dalam beribadah akan semakin sensitif perasaan seseorang dalam berinteraksi, sehingga mudah terkontaminasi pihak luar (lingkungan). dengan demikian, tingkat kepekaan untuk mengubah ketidakbenaran akan tinggi. Jika sensitivitasnya berhasil meraih citra tuhannya, ia akan merasakan nikmatnya hidupdalam lingkaran (cordon) ibadah. Citra tuhan hanya dapat dipahami jika hati manusia sudah terbatas dari keluhan dan persepsi buruk pada Tuhan.[1]

Pengertian Do’a
Do’a walaupun secara kasat mata susah untuk dipercaya, namun hati nurani manusia tentu sudahbanyak yang mengalami secara pribadi. Bahwa, telahmengubah hidupnyamenjadi lebih optimis dalam menjalani rintangan dan cobaan hidup. Sementara itu, doa tentunya akan lebih mampu membantu seseorang untuk mencapai tujuan. Akan berbeda orang yang berdoa dengan tekun dengan yang sebaliknya. Tentang doa juga merupakan sebagai sebuah usaha untuk mencapai sesuatu.
Doa sangat penting bagi perkembangan psikologis seseorang. Mazhahiri (2002:119) menjelaskan, bahwa doa adalah kenikmatan yang paling nikmat. Sehingga dengan manusia akan pandai bersyukur. Doa menjadikan manusia memutus keterikatan dan ketergantungan kepada selain Allah. Sehingga, pengharapan manusia semata-mata hanya kepada Allah. Doa meniupkan ketenangan dan ketentraman jiwa, juga membuat hari-harinya diliputi oleh kebahagiaan dan ketenangan. Doa mampu melampangkan dada, sehingga mudah menerima segala informasi dari luar dirinya tanpa penghalang. Doa mampu menutupi erbagai kekurangan dari diri manusia, shingga akan terangkat martabatnya. Doa mampu membantu dan mengarahkan manusia dalam menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya.
Doa adalah Ibadah. Ibadah akan membawa seseorang kuat, baik secara fisik maupun mental. Dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Luhai’ah, Nabi Saw. Bersabda:
“Doa adalah otaknya ibadah” (HR al-Tirmidzi)
Orang berdoa berarti telahberusaha menghadapkan segala urusan kepada Allah SWT. Doa merupakan pernyataan tentang kelemahan manusia dihadapan kekuasaan Allah SWT, serta merupakan cara untuk mengingatnya. Doa menghapus perasaan mampu pada diri dan perasaan bangga dengan jiwa. Ketika terlepas dari perasaan angkuh, sombong dan bangga dengan dirinya sendiri, maka disitulah letak agungnya ketaatan. Sehingga, manusia merasakan bahwa dirinya bukan apa-apa, membutuhkan ada yang menolong, dan menuntun. Setelah berusaha dengan segala kemampuan yang ada ternyata tetap tidak bisa berbuat sesuatu lebih banyak dari yang di harapkan. Inilah perasaan, yang sebenarnya diinginkan oleh Allah terjadi pada hambanya. Perasaan, bahwa tidak ada daya dan upaya selain kekuatan Allah SWT.
Doa memberikan sumbangan spritual. Kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan tentu didukung oleh rasa percaya diri dan kestabilan emosi yang ada pada dirinya. Sehingga, semakin konsisten siswa melakukan doa dengan adab yang benar, akan semakin mendukung kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas positf.[2]



B.        Pembagian Ibadah.

Ibadah terbagi dua, yaitu ibadah ritual dan ibadah multi dimensi.
                a.         Ibadah Ritual.
Ibadah Ritual di ikat oleh hukum-hukum baku tertentu dan dengan demikian membentuk disiplin normatif (Sukanto, 1985:105). Seperti rukun islam , rukun perkawinan, hukum warisan, dan sebagainya. Dalam Shalat misalnya, seseorang akan mendapatkan pengalaman spritual tersendiri dengan orang lain. Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1983:78) mengatakan bahwa shalat itu terdiri dari ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Rizvi (1985:40) mengatakan, Prayer is a power wich brings about new orientation of energy and minimizes the process of disease till the man is cured, (orang yang berdoa adalahsebuah kekuatan yang menghasilkan kekuatan orientasi baru dan mengurangi proses sakit sampai seseorang menjadi sembuh). Nabi Muhammad dalam hadis-hadisnya bersabda: “Dijadikanlah kegembiraan hatiku itu di waktu shalat” (HR an-Nasa’i) dan Nabi jga bersabda: “ Sembahlah Alloh dengan penuh keridhaan, jika engkau tidak sanggup maka dalam keadaan kesabaran terhadap apa yang engkau benci itu ada kebaikan yang banyak.” (HR Tharbani).

Ibadah ritual sifatnya mengikat, tapi tidak memaksa. Karena dalam agama tidak ada paksaan (koersif), yang ada adalah ikatan yang timbul dari rasa ikhlas dan ridha antara abdun dan Ma’bud. Kebebasan manusia untuk berekspresi adalah harga termahal dari tuhan untuk kepentingan manusia. Tuhan akan selalu ikut andil dalam segala tindakan manusia. Apalagi pada hasil segala proses manusia tidak akan mampu melawan kehendaknya betapapun ia dengan sungguh-sungguh telah berupaya mewujudkan keinginannya. Jadi yang terbaik untuk manusia adalah memahami kehendak Tuhan sebelum berjalan melalui proses pencampaian keinginan sendiri.

                b.         Ibadah Multidimensi.
Mengenai ibadah multidimensi,Rasulullah Saw. Bersabda “Seluruhumatku masuk surga kecuali yang berpaling. Para sahabat bertanya, ‘siapakah yang berpaling itu wahai Rasulullah?’ ‘beliaw menjawab, ‘Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan barang siapa yang membangkang maka ia akan berpaling’ (HR Bukhari).” Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. Juga bersabda, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia telah taat kepada Alloh dan barangsiapa yang membangkangku maka ia juga telah membangkangkang Alloh,”(HR Bukhari dan Muslim).

Tiap aspek kehidupan manusia mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang didudukkan sebagai buruh yang hidup kurang mapan dan menjadi bawahan seorang bos yang kaya raya. Ada juga yang menjadi bangsawan (Sukanto, 1985:106). Cinta kasih abdun dan Ma’bud adalah dasar masyarakat. Jadi, dalam ibadah harus ada cinta kasih sebagai salah satu penghubung antara hamba dan Tuhannya ketika melakukan suatu tingkah laku selama hidupnya. Nasaruddin Umar pernah berkata bahwa manusia tidak cukup bergaul dengan bersahabat dalam penghuni alam nyata (dunia) saja, tetapi manusia juga perlu bersahabat dengan mereka yang sudah meninggal dalam pengertia jasadnya tak bernyawa, sebab bergaul dengan mereka akan jauh lebih baik untuk peningkatan spritualitas manusia. Manusia yang sudah mampu merasakan indahnya bergaul dengan roh-roh yang sudah lepas dari jasadnya kerap kali terh\lihat hidupnya tenang dan damai.

Di dalam dunia ini ada empat golongan primer, yaitu kebenaran, kegunaan, keindahan, dan keridhaan Alloh. Manusia yang akan baik dalam hidup selalu memperhitungkan keberadaannya dan selalu mengkaji diri agar mampu menyatukan keempat golongan primer itu dalam segala perbuatan sehingga bisa bernilai ibadah. Motivasi ibadah hanyalah mengutamakan nilai dan norma dari kegunaan dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan petunjuk agama samawi. Apa pun di dunia ini akan bernilai ibadah jika dimotivasi untuk melangkah ke arah nilai-nilai ajaran Tuhan.

Dimensi ibadah multidimensi selalu mencari kebenaran, keselarasan bentuk dalam koordinasi yang harmonis antara iman, ilmu, dan amal. Nilai yang timbul dari ibadah adalah nilai yang membuat Allah ridha karenanya, setidak-tidaknya tidak menjadikan Alloh murka (Sukanto, 1985:107).[3]



C.        Esensi Psikologi dalam Ibadah.
Dalam lingkaran nilai-nilai dan konsep-konsep ibadah dapat menjadikan seseorang bebas mengekspresikan individualitasnya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sesuai dengan aoa yang mereka inginkan sejauh daerah yang sudah diterangkan oleh nilai-nilai dan konsep-konsep abadi itu bisa dipetakan. Masyarakat Muslim telah memanifistasikan nilai tersebut melalui berbagai cara sesuai dengan kondisi sejarah dan lingkungan mereka. Mekanisme seperti ini akan menjadikan peradaban Islam selalu berubah dan berkembang dengan tetap menyertakan karakteristiknya yang unik dan abadi (Sardar, 1998:60-61).
Kebahagiaan dalam beribadah adalah pencampaian mutlak bagi manusia yang tekut dan taat pada penghambaannya kepada Tuhan. Ibadah yang dilakukan secara terpaksa dan berat hati menandakan belum mencapai kebahagiaan yang sempurna (al-Ghazali, 1989: 35). Betapapun manusia telah mencapai kebahagiaan , tak akan pernah lepas tanpa ibadah, sebab ibadah adalah sisi lain dari nilai kebahagiaan. Bukankah tubuh termasuk darah dan segala fasilitas lainnya adalah titipan Alloh yang sudah pasti selalu berzikir. Alangkah malunya jika diri dan kesadaran tidak ikut hanyut dalam zikir kepada Allah. Tubuh ini akan merasakan ketentraman jika digerakkan oleh kesadaran manusia yang selalu berdzikir kepada Yang Maha Pencipta.
Ibadah harus dilakukan sepanjang hayat, sebab badan , jiwa dan roh akan selaras hanya dengan ibadah untuk membuat akhlak meresap dan sempurna. Akhlak adalah simbol dari kesempurnaan seseorang hamba dalam beribadah sehingga mahluk akan dapat Saling memberi penilaian baik buruk ibadah seseorang dengan melihat keseluruhan budi pekerti atau akhlaknya. Menurut al-Ghazali (1989: 61), ada beberapa hal yang mencirikan seseorang tekun dalam beribadah, yaitu memutuskan hubungan dan kaitan dengan segala hal, membersihkan hati dari segala hal dan menghadapkan diri kepada Allah Swt. Secara total. Totalitas diri dalam beribadah sebenarnya bukan kewajiban lagi bagi mereka yang sudah merasakan nikmatnya ibadah, tapi merupakan kebutuhan, sebagai mana jasad ini butuh akan makanan dan air di setiap harinya.
Ibadah merupakan tugas yang diemban oleh manusia ketika ia sudah sampai pada masa aql balig  (bisa berpikir denga penuh perhitungan). Ibadah memosisikan diri sebagai hal terpenting dari semua tingkah laku manusia, bahkan boleh dikatakan apa pun manusia lakukan adalah sia-sia, tak memiliki nilai dan menghamburkan waktu jika tidak ada dasar ibadah pada dirinya. Kodrat seluruh ciptaan Alloh adalah untuk beribadah, dalam pengertian mengagungkan Penciptaannya. Manusia diberi kebebasan dalam dirinya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa kebebasan yang diberikan kepada manusia itu adalah kebebasan unruk mencari jalan agar sampai pada keridhaannya, bukan kebebasan untuk taat beribadah atau tidak. Bagi mereka yang tidak taat, pantas jika diancam dengan hukuman dan siksa diakhirat kelak, bahkan sebagian sudah diperlihatkan ketika masih hidup di dunia.
Allah adalah pencjpta manusia dan makhluk lainnya. Manusia dijadikan oleh Allah sebagai Khalifah. Ia diberi tugas untuk memberdayakan alam semesta beserta isinya sebagai ibadah. Tiga hal dalam beribadah, iman,amal saleh, dan taqwa. Iman dan takwa akan langsung menghantarkan manusia ke kampung halamannya yaitu surga, dan amal saleh perlu adanya keridhaan Tuhan. Dalam amal saleh itu ada prestasi, nilai dan derajat sehingga manusia harus berlomba-lomba untuk mendpatkan yang paling baik, terpilih dan  unggul.
Leonard Bull pernah berkata, bahwa yang paling perlu supaya orang tetap sehat dan suksesadalah keteguhan rohani (mental stance), pemusatan pemikiran dan kemauan kepada kesehatan dan sukses. Dalam ibadah diajarkan istilah khusyu’ yang sepadan dengan konsentrasi. Di sini akan sedikit mengendalikan hal-hal yang negatif ketika ibadah tersebutberlangsung, baik yang ritual atau multikondisi, sehingga tekanan-ketegangan (stress-strain) akan mudah dikendalikan.
Ibadahperlu dikenal sejak kecil. Boleh dipakai struktur kepribadian Freud, aspek badani akan lebih sulit dilatih ketika dewasa, karena pada masa dewasa(maturity) aspek penyimpangan (deviation) akan lebih cepat terakses oleh badan/jasad. Pada akhirnya pendidikan dapat menyentuh kepribadian seseorang di masa depan. Ibadah adalah memfanakan diri di hadapan Allah semata. Pasti dia sendirilah yang mempunyai hak mutlak menetapkan bentuk-bentuk ibadah dan mensyariatkan hukum-hukumnya. Ibadah berkaitan dengan perubahan jiwa dan tingkah laku, yang gambarannya berbentuk positif disebut akhlak al-karimah dan negatif disebut akhlak as-sai’ah.
Ibadah adalah tugas manusia sebagai hamba dari Tuhan Semesta
Alam. Dengan beribadah secara rutin sepanjang hayat diharapkan manusia semakin berakhlak al-karimah. Akhlak adalah simbol pencampaian Ridha Ilaihi, sehingga tujuan manusia yaitu kembali ke kampung halaman (surga) dapat tercapai.[4]


[1]Rafy sapuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), h.59-61
[2]Rafy sapuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), h.67-71
[3]Rafy sapuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), h.62-64
[4]Rafy sapuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), h.64-67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar