DASAR-DASAR AL-QUR’AN DALAM KONSELING
A.
Al-Qur’an Sebagai Sumber Konseling Islami
Al-Quran
adalah kitab suci dan petunjuk yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
SAW dan seluruh manusia. Al-Quran berbicara kepada rasio dan kesadaran manusia.
Ia mengajarkan kepada manusia dengan berbagai praktek ibadah, serta menunjukkan
kepadanya di mana letak kebaikan dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya.
Selain itu juga menunjukkan kepada manusia jalan terbaik untuk merealisasikan
dirinya, mengembangkan kepribadiannya, dan menghantarkannya kepada
jenjang-jenjang kesempurnaan insani agar ia dapat merealisasikan kebahagiaan
bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hubungan ini, Quraish
Shihab menegaskan Al-Qur’an
al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran islam berfungsi sebagai petunjuk
ke jalan yang sebaik-baiknya demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di
akhirat. Disamping itu, Al-Qur’an juga memerintahkan umat manusia untuk
memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga dengan demikian, akan ditemukan
kebenaran-kebenaran penegasan Al-Qur’an bahwa :
1.
Allah
akan memperlihatkan tanda-tanda kebesarannya diseluruh ufuk dan pada diri
manusia, sehingga terbukti ia (Al-Qur’an) adalah benar,
2.
Fungsi
diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi ( tentunya terutama Al-Qur’an),
adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan
problem-problem yang di hadapi masyarakat.[1]
Al-Qur’an juga
memberikan dorongan kepada manusia untuk memikirkan tentang diri pribadinya,
tentang keajaiban penciptaan dirinya, dan kepelikan struktur kejadiannya. Hal
ini pula yang mendorong manusia untuk mengadakan pengkajian tentang jiwa dan
rahasia-rahasianya, karena pengetahuan tentang Allah. Mengenai hal ini Rasullah
SAW bersabda (seperti dikutip oleh Al-Gazali)[2]
: “barang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia telah mengenal
Tuhannya”. Atau dalam sabda yang lain : “Di antara kamu sekalian yang paling
mengenal dirinya adalah yang paling mengenal Tuhannya”.
Pengetahuan
manusia tentang dirinya akan membantunya dalam mengendalikan hawa nafsunya,
memelihara dari tindakan yang menyeleweng dan menyimpang, serta mengarahkannya
pada jalan keimanan, amal kebaikan, dan tingkah laku benar, yang juga
menghantarkannya kepada kehidupan damai dan tentaram. Argumen ini lebih
diperkuatpula oleh penegasan ‘Usman Najati, yakni : “ banyak di antara
ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai tabiat manusia serta
berbagai kondisi psikis dan menjelaskan berbagai penyebab penyimpangan/penyakit jiwa,
sekaligus mengemukakan berbagai jalan pelusurannya, pendidikannya, terapinya”.[3]
Al-Qur’an dapat menjadi sumber bimbingan dan
konseling Islami, nasehat, dan obat bagi manusia. Firman Allah surat al-Isra’
ayat 82.
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
ãAÍit\çRur z`ÏB Èb#uäöà)ø9$# $tB uqèd Öä!$xÿÏ© ×puH÷quur tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 wur ßÌt tûüÏJÎ=»©à9$# wÎ) #Y$|¡yz ÇÑËÈ
Artinya: “Dan kami turunkan dari Al Quran suatu
yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS.Al-Israa’,17:
82).[4]
Menurut Tafsir Tematik
Cahaya al-Qur’an, al-Qur’an merupakan mukjizat Muhammad SAW yang abadi, yang
diturunkan Allah berbagai cahaya dan petunjuk. Di dalamnya terdapat obat bagi
jiwa yang sakit karena penyakit hati dan penyakit kemasyarakatan, seperti
akidah yang sesat dan menyingkap hati yang tertutup, sehingga menjadi obat bagi
hati, seperti layaknya ramuan obat-obatan bagi kesehatan. Jika suatu kaum mau
mengambil petunjuk darinya mereka akan mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan,
sebaliknya jika mereka tidak mau menerimanya, maka mereka akan menyesal dan
sengsara.[5]
B.
Istilah Konseling dalam Al-Qur’an
Kata konseling
dalam bahasa Arab adalah al-Irsyad yang secara etimologis berarti al-Huda,
ad-Dalalah, dalam bahasa Indonesia berarti : petunjuk. Kata al-Irsyad
menjadi satu dengan al-Huda dapat dilihat dalam surah al-Kahfi (18) ayat
17, dan kata al-Irsyad secara sendiri dapat dilihat dalam surah al-Jin (72)
ayat 2. Inti makna surah al-Kahfi (18) ayat 17 adalah : Allah-lah yang memberi
petunjuk kepada manusia akan jalan kebenaran. Seangkan inti makna surah al-Jin
(72) ayat 2 adalah : Allah menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai pedoman yang
memberi petunjuk kepada jalan kebenaran.[6]
Konseling dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan,
pengajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal
bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal Fikiran, kejiwaan,
keimanan, dan keyakinan, serta dapat mengurangi problematika hidup dan
kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah SAW.[7]
C. Dasar-dasar
Qur’ani Dalam Konseling
1.
Berkenaan Dimensi Spritual.
Berkenaan
dengan dimensi spritual dalam konseling islami, Allah ditempatkan pada posisi
Konselor Yang Maha Agung, satu-satunya tempat manusia menyerahkan dan
mendekatkan diri serta mengkonsultasikan permasalahannya, sebagai sumber
memperoleh keberanian dan kekuatan bagi penyelesaian masalah, sumber pemberian
keberanian dan kesembuhan. Pengertian ini jelas terungkap isyaratnya dalan
surah al-Baqarah (2) ayat 112, 156, 255, 284 surah Ali ‘Imran (3) ayat 159-160,
surah at-Talaq (65) ayat 3-4. Inti makna surah al-Baqarah (2) ayat 255 dn 284
adalah : Allah menegaskan akan kekuasaanNya. Hanya Dialah penguasa sebagai
pemberi pertolongan, dan hanya Dia yang berhak disembah. Inti makna surah
al-Baqarah (2) ayat 156 adalah : Allah menggambarkan bahwa orang beriman dan
sabar adalah orang-orang yang menyakini permasalahan terjadi tas izin Allah dan
selayaknya diserahkan/dikonsultasikan kembali kepadaNya. Inti makna surah Ali
‘Imran (3) ayat 159-160 adalah : Allah menegaskan bahwa Dia adalah satu-satunya
tempat bertawakal (berserah diri) bagi orang-orang mukmin, dan Dia sangat
menyenangi sikap tawakal. Sedangkan inti makna surah al-Baqarah (2) ayat 112,
surah at-Talaq (65) ayat 3-4 adalah Allah menyatakan bahwa orang-orang yang
bertakwa dan bertawakal kepadaNya akan mendapatkan kemudahan dalam urusannya,
dan akan memperoleh kesenangan, ketenangan hati, bahkan akan mendapat pahala
disisi Allah.[8]
2.
Berkenaan Dimensi Material
Berkenaan dengan dimensi material dalam
konseling islami, klien/konseli dipandang sebagai manusia dengan keharusan
memahami masalah empirik yang dihadapinya serta sekaligus menyadari hakikat
jati diri dan tangungjawabnya untuk menyeesaikan masalah tersebut. Hal ini dengan jelas tertera dalam surah al-Baqarah (2) ayat 30,
surah al-Ahzab (33) ayat 22, srah az-Zariat (51) ayat 56, surah al-Qiyamah (75)
ayat 14. Inti makna surah al-Baqarah (2) ayat 30 dan surah al-Ahzab (33) ayat
22 adalah : Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakanNya menjadi khalifah
(kuasa atau wakilNya) di bumi yang bertugas sebagai pengelola dan penata
kehidupan (dalam arti luas) demi kesejahteraan diri berikut dunianya sesuai
dengan kehendak Allah (mengemban misi khalifah). Inti makna surah az-Zariyat
(51) ayat 56 adalah : Allah menjelaskan bahwa tanggung jawab manusia adalah
mengabdikan seluruh kehidupannya untuk Allah sebagai khaliknya. Sedangkan inti
makna surah al-Qiyamah (75) ayat 14 adalah : Allah bahkan meminta
pertanggungjawaban sepenuhnya dari seluruh komponen tubuh manusia yang telah
dianugerahkanNya kepada mereka.
D.
Usaha Klien Dalam Menyelesaikan Masalahnya.
Dalam konseling islami, permasalahan yang
dihadapi manusia pada kehidupannya dalah wujud dari cobaan dan ujian Allah yang
hikmahnya untuk menguji serta mempertaruhkan keteguhan iman dan kesabarannya, bukan merupakan wujud
kebencian Allah kepada hambanya. Isyarat
ini termaktub dalam surah al-Baqarah (2) ayat 155 dan surah at-Tagabun (64)
ayat 15. Inti makna surah al-Baqarah (2) ayat 155 adalah : Allah menggambarkan
bahwa cobaan yang diberikan kepada manusia adakalanya bersifat psikis
(ketakutan, kegelisahan jiwa) dan adakalanya bersifat material (kelaparan,
kekurangan harta/benda). Demikian juga inti
makna surah at-Tagabun (64)
ayat 15 adalah : Allah menegaskan bahwa harta dan anak-anak merupakan ujian
yang nyata bagi manusia, baik keberadaannya maupun ketiadaannya. [9]
Dalam posisinya sebagai klien/konseli, konseling memandang manusia
sebagai individu yang memiliki pontensial untuk hidup sehat secara mental.
Untuk itu ia dia dibekali/dianugerahkan oleh Allah berbagai potensi yang baik
agar ia mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam kehidupannya, sehingga
diyakini ia akan dapat dibantu untuk berhasil menyelesaikan masalah dimaksud,
apalagi memang keumitan msalah yang dihadapinya masih sesuai dengan tarah
kemampuannya (masih dalam batas kemampuannya). Anugerah Allah berupa potensi
yang baik kepada manusia temaktub dalam surah al-Baqarah (2) ayat 31, surah
an-Nisa’ (4) ayat 113, surah al-Isra (17) ayat 70, surah as- Sajadah (32) ayat
7-9, surah al-Balad (90) ayat 10, surah as-Syams (91) ayat 8, surah at-Tin (95)
ayat 4. Ini makna surah at-Tin (95) ayat 4 adalah : penegasan Allah bahwa
manusia diciptakan dalam bentuk dan kondisi yang prima. Inti makna surah
al-Isra (17) ayat 70 adalah : Allah menjelaskan bahwa manusia dijadikan lebih
sempurna dibanding dengan maklukNya yang lain. Inti makna Sajadah (32) ayat 7-9
adalah : Allah menjelaskan bahwa di samping kejadian yang baik, manusia
disempurnakan dengan anugerah ruh, penglihatan, pendengaran, dan hati, dan inti
makna surah al-Baqarah (2) ayat 31 adalah : Allah mengajarkan kepada manusia
(adam) akan nama-nama benda yang ketika itu malaikat belum mengetahuinya.
Selain itu inti makna surah al-Balad (90) ayat 10 adalah : Allah
menganugerahkan kepada manusia untuk membedakan/memilih jalan kebenaran/kebijakan
dan jalan kebatilan/kejahatan. Selanjutnya, inti makna surah an-Nisa’ (4) ayat
113 adalah : Allah memenjelaskan bahwa karunia terbesarNya kepada manusia
adalah anugerah kemampuan intelektual, dengan itu manusia mampu menangkap
petunjuk serta hikmah yang terkandung dalam al-Qur’an, dan dengan itu pula
manusia dapat terhindar dari kesesatan.[10]
Penjelasan tentang kerumitan masalah masih
sesuai dengan taraf kemampuan (masih alam batas kemampuan) manusia termaktub
dalam surah al-Baqarah (2) ayat 233 dan 286, surah an-Nisa’ (4) ayat 84, surah
al-An’am (6) ayat 152, surah al-A’raf (7) ayat 42, surah al-Mu’minun (23) ayat
62, surah Sad (38) ayat 86, surah at-Talaq (65) ayat 7. Inti makna surah surah
al-Baqaah (2) ayat 233 dan 286, surah al-An’am (6) ayat 152, surah al-A’raf (7)
ayat 42, surah al-Mu’minun (23) ayat 62, surah at-Talaq (65) ayat 7 adalah :
Allah menegaskan bahwa ia tidak pernah membebankan sesuatu di luar batas
(melampaui batas) kemampuan manusia. Kadar
beban dan kemampuan menerima/menyelesaikan dijadikan Allah dengan berimbang.
Demikian pula inti makna surah an-Nisa’ (4) ayat 84, adalah : beban kewajiban
yang harus dilaksanakan manusia pun masih tetap dalam batas kewajibannya
sendiri. Sedangkan inti makna surah Sad (38) ayat 86 adalah : ketegasan Allah
mengatakan bahwa Muhammad bukanlah mengada-ada, dengan menuntut umatnya
terhadap apa yang tidak sanggup mereka lakukan.
Atas dasar potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia, maka dalam
proses konseling islami, klien/konseli didorong untuk melakukam self
conseling. Dialah orang yang paling dituntut untuk melakukan upaya kreatif
mandiri dengan penuh keberanian, karena hasilnya akan sangat tergantung pada
kemampuan ikhtiarnya tersebut. Isyarat tentang
hal ini termaktub dalam surah ar-Ra’d (13) ayat 11 dan surah an-Najm (53) ayat
39-40. Inti makna surah ar-Ra’d (13) ayat 11 adalah jaminan Allah bahwa Ia
tidak akan merubah keadaan manusia (ke Arah kebaikan/kemajuan) selama manusia
idak berusaha merubah sebab-sebab kemunduran tersebut. Inti makna surah an-Najm
(53) ayat 39-40 adalah : Allah menegaskan bahwa apa yang dinikmati manusia
secara nyata sebagai hasil adalah atas dasar usahanya. Besar kecilnya hasil
ditentukan oleh besar kecilnya usaha.
E.
Upaya Konseling Islami Menyelesaikan Masalah Klien
Upaya konseling Islami mengiring klien/konseli untuk memperoleh
ketenangan hati. Secara spritual memperoleh ketenangan hati adalah kembali
kepada sumbernya, yaitu Allah. Dalam hal ini, iman dan amal akan menyempurnakan
ketenangan hati. Untuk itu, ia harus melaksanakan Ibadah dengan tulus dan
khusyu’, baik ibadah wajib (salat, zakat, puasa, haji) maupun ibadah sunnat
(zikir, membaca al-Qur’an, berdo’a).[11]
Upaya konseling Islami dilaksanakan oleh
seorang konselor yang ahli dalam bidangnya dan diselenggarakan dengan cara
lemah lembut, agar dapat menyentuh sisi terdalam dari hati nurani klien/konseli
bersangkutan. Prinsipnya
adalah menghilangkan rasa takut dan menumbuhkan rasa senang/gembira di hati
mereka. Motivasi konselor didasarkan pada prinsip saling tolong menolong dalam
kebajikan serta saling mengingatkan dalam kebaikan, kebenaran dan kesabaran.
Penjelasan tentang pentingnya perlakuan lembah lembut termaktub dalam surah
Ali-Imran (3) ayat 159, dan surah an-Nahl (16) ayat 125. Inti makna surah
an-Nahl (16) ayat 125 adalah : Allah menganjurkan kepada Muhammad dan umatnya
untuk mengajak manusia ke jalan kebenaran dengan baik dan dengan hikmah (
perkataan tegas serta benar , dapat membedakan antara hak dan batil) serta
dengan pelajaran terbaik. Demikian pula inti makna surah Ali-Imran (3) ayat 159
adalah : Allah menegas-kan bahwa keberhasilan Muhammad memikat hati umatnya
adalah karena sikapnya yang lemah lembut memperlakukan mereka. Sikap keras dan
perlakuan kasar pasti akan membuat orang antipati dan menjauhkan diri darinya.
Penjelasan tentang prinsip tolong menolog dalam kebajikan serta
mengingatkan dalam kebaikan, kebenaran dan kesabaran termaktub dalam surah
al-Ma’idah (50) ayat 2 dan surah al-‘Asr (103) ayat 1-3. Maka inti surah
al-Ma’idah (50) ayat 2 adalah : Allah menyeru manusia untuk saling tolong
menolong dalam berbuat kebajikan dan meningkatkan ketakwaan, serta melarang
untuk saling tolong menolong dalam berbuatdosa dan perlanggaran. Demikian juga
inti surah al-‘Asr (103) ayat 1-3 adalah : Allah meneagaskan dengan sumpahNya
bahwa di antara manusia yang tidak merugi dalam kehidupannya adalah orang yang
beriman, beramal shaleh, serta saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan
menetapi kesabaran.
Klien/konseli yang bermasalah dikategorikan
pada manusia dengan hati sakit/kotor (qalbun marid) upaya konseling
islam adalah agar klien/konseli berupaya menyembuh atau membersihkannya,
sehingga dapat kembali tampil sebagai manusia bermental sehat. Penjelasan Allah
tentang penyakit hati termaktub dalam surah al-Baqarah (2) ayat 10, surah
al-Maidah (5) ayat 52, surah al-Anfal (8) ayat 49, surah at-Taubah (9) ayat
125, surah Hajj (22) ayat 53, surah al-Ahzab (33) ayat 12 dan 32, surah
Muhammad (47) ayat 20 dan 29, surah al-Muddassir (74) ayat 31. Inti makna surah
al-Baqarah (2) ayat 10 adalah : Allah menyatakan bahwa ada di antara manusia
yang hatinya sakit, kemurkaan Allah menambah penyakitnya dan kelak merasakan
kepedihan siksa. Salah satu penyakit itu adalah sifat dusta. Inti makna surah
al-Maidah (5) ayat 52, surah al-Anfal (8) ayat 49, surah at-Taubah (9) ayat
125, surah al-Ahzab (33) ayat 12 adalah
: Allah menyatakan bahwa munafik adalah salah satu penyakit hati terparah. Orang munafik akan mengalami penyesalan besar dan akan memperoleh
siksa yang sangat pedih. Inti makna surah Hajj (22) ayat 53 adalah : Allah
menyatakan bahwa sifat zalim adalah penyakit hati yang selalu menerima bisikan
dan tipu daya syaitan. Orang yang zalim bukan saja menjadi musuh bagi manusia,
tetapi nyata dimusuhi oleh Allah. Demikian pula inti makna surah al-Ahzab (33)
ayat 32 adalah : Allah menyatakan bahwa penyakit hati dapat juga berupa sifat
curang. Secara tegas dikatakanNya kecurangan akan mendapatkan hukuman berat,
bahkan diidentikkan dengan beratnya hukuman melakukan zina. Selanjutnya, inti
makna surah Muhammad (47) ayat 20 adalah : Allah menyatakan bahwa di antara
penyakit hati yang lain adalah takut mati atau cinta dunia secara berlebihan,
ia akan mengakibatkan kecelakaan besar bagi orang yang mengidapnya dan tidak
membersihkannya. Sedangkan inti makna surah Muhammad (47) ayat 29 adalah
penegasan Allah tentang sifat hasat/dengki/iri hati sebagai salah satu penyakit
hati yang berat, bagi mereka balasan buruk dan Allah akan memperlihakan
(membuktikan)nya di hadapan mereka. Selain itu, inti makna surah al-Muddassir
(74) ayat 31 dan surah at-Taubah (9) ayat 125 adalah : Allah menegaskan bahwa
sifat ragu-ragu/was-was adalah penyakit hati yang dapat mengiringi manusia ke
arah kesesatan. Sedangkan kesesatan menjadikan manusia tidak sampai pada kebenaran,
pada akhirnya akan mendapat murka dan azab Allah.
Klien/konseli yang telah berhasil
menyembuhkan, membersihkan penyakit, kotoran hatinya, dengan mengikis
sifat-sifat tecela dan menggantikannya dengan sifat-sifat terpuji,
dikategorikan pada manusia dengan hati sehat/bersih (qalbun salim) dalam
kehidupan tenang (sakinah) dengan jiwa yang tentram (mutma’innah). Dalam
upaya konseling Islami yang sungguh-sungguh dilakukan oleh klien/konseli atas
arahan konselor, Allah membantunya memperoleh ketenangan hati. Penjelasan ini
termaktub dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 126, surah al-Anfal (8) ayat 10,
surah at-Taubah (9) ayat 26, surah asy-Syu’ura (26) ayat 89, surah al-Fath (48)
ayat 4, 18 dan 26. Inti makna surah surah al-Fath (48) ayat 4 adalah penegasan Allah
bahwa Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin agar
keimanan itu semakin bertambah teguh. [12]
demikian pula makna surah Ali ‘Imran (3) ayat 126 dan surah al-Anfal (8)
ayat 10 adalah : Allah menyatakan bahwa bala bantuan dikirimkan kepada kaum
muslimin dengan maksud sebagai kabar gembira
agar dapat menentramkan hati mereka. Selanjutnya, inti makna surah at-Taubah
(9) ayat 26 setra surah al-Fath (48)
ayat 18 dan 26 adalah : penegasan Allah tentang bala bantuan yang dikirimNya kepada
RasulNya dan kaum muslimin dalam peperangan melawan kaum kafir, menyebabkan
Rasul dan kaum muslimin memperoleh kemenangan, dan dengan itu menjadikan hati
mereka tenang/tentram. Sedangkan inti makna surah asy-Syu’ura (26) ayat 89
adalah : jaminan Allah terhadap orang yang menghadap ke hadiratNya dengan hati
berih akan mendapat balasan surga.
Klien/konseli yang telah memiliki hati
sehat/bersih (qalbun salim) berarti telah berhasil dihantarkan ke arah
kebahagiaan hidup yang bukan saja kebahagiaan duniawi tetapi juga kebahagiaan
ukhrawi, sebagai inti tujuan akhir hidup muslim, seperti dijelaskan Allah dalam
surah al-Baqarah (2) ayat 201 dan surah al-Qasas (28) ayat 77. Inti makna surah
al-Baqarah (2) ayat 201 adalah Allah menegaskan bahwa kebahagiaan dunia dan
akhirat serta terhindarnya dari siksa neraka adalah hal harus dicapai oleh
setiap muslim. Do’a itu
merupakan do’a terbaik bagi muslim, karena ia merupakan inti tujuan akhir
hidupnya. Demikian juga inti makna surah al-Qasas (28) ayat 77 adalah pernyataan
Allah tentang pentingnya seorang muslim mencari, memperoleh, mengumpulkan
sesuatu untuk kepentingan kebahgiaan dunia dan kebahagiaan akhirat secara
berimbang. Sedangkan kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan hakiki dan sejati
akan dinikmati manusia dengan limpahan rahmat Allah di surga, sebagaimana
penjelasan termaktub dalam dalam surah al-Fajr (89) ayat 27-30. Inti maknanya
adalah : pernyataan Allah tentang penghargaanNya terhadap manusia jika kembali
kehadiratNya dengan jiwa yang tenang/tentram. Balasan Allah terhadap orang yang
demikian adalah kenikmatan hidup di surga dengan penuh rahmat.[13]
[1] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 100
[2] Abu
Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ma’rij al-Quds fi Madarij Ma’rifah
an-Nafs, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah,
1975), h. 6
[3] M.
‘Usman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Terj.: Ahmad Rofi’ ‘Usmani, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 682.
[6]
Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islam: Kyai &Pesantren, (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2007), h. 146
[7] H. Hamdani Bakra Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam Penerapan
Metode Sufistik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 137
[9] Ibid.,
h. 147
[10] Ibid.,
h 148
[11] Ibid.,
149
[13] Ibid.,
h. 155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar